Minggu, 12 Juni 2016



PWSKIA






BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pemantauan  Wilayah  Setempat  (PWS)  telah  dilaksanakan  di  Indonesia  sejak  tahun 1985.  Pada  saat  itu  pimpinan  puskesmas  maupun  pemegang  program  di  Dinas  Kesehatan Kabupaten/Kota  belum  mempunyai  alat  pantau  yang  dapat  memberikan  data  yang  cepat sehingga  pimpinan  dapat  memberikan  respon  atau  tindakan  yang  cepat  dalam  wilayah kerjanya.  PWS  dimulai  dengan  program  Imunisasi  yang  dalam  perjalanannya,  berkembang menjadi PWS-PWS lain seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi.

Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal Child Immunization  (UCI)  di  Indonesia  pada  tahun  1990.  Dengan  dicapainya  cakupan  program imunisasi,  terjadi  penurunan  AKB  yang  signifikan.  Namun  pelaksanaan  PWS  dengan  indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) secara  bermakna  walaupun  cakupan  pelayanan  KIA  meningkat,  karena  adanya  faktor-faktor lain  sebagai  penyebab  kematian  ibu  (ekonomi,  pendidikan,  sosial  budaya,  dsb).  Dengan demikian  maka  PWS  KIA  perlu  dikembangkan  dengan  memperbaiki  mutu  data,  analisis  dan penelusuran data.

Angka  Kematian  Ibu  (AKI),  Angka  Kematian  Neonatus  (AKN),  Angka  Kematian  Bayi (AKB),  dan  Angka  Kematian  Balita  (AKABA)  merupakan  beberapa  indikator  status  kesehatan masyarakat.  Dewasa  ini  AKI  dan  AKB  di  Indonesia  masih  tinggi  dibandingkan  dengan  negara ASEAN  lainnya.  Menurut  data  Survei  Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)  2007,  AKI 228  per  100.000  kelahiran  hidup,  AKB  34  per  1.000  kelahiran  hidup,  AKN  19  per  1.000 kelahiran hidup, AKABA 44 per 1.000 kelahiran hidup.

Penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 225.642.000 jiwa dengan CBR 19,1 maka terdapat  4.287.198  bayi  lahir  hidup.  Dengan  AKI  228/100.000  KH  berarti  ada  9.774  ibu meninggal  per  tahun  atau  1  ibu  meninggal  tiap  jam  oleh  sebab  yang  berkaitan  dengan kehamilan,  persalinan dan nifas. Besaran kematian  Neonatal, Bayi dan Balita jauh  lebih  tinggi, dengan  AKN  19/1.000  KH,  AKB 34/1.000  KH  dan  AKABA 44/1.000  KH  berarti  ada 9 Neonatal, 17 bayi dan 22 Balita meninggal tiap jam.

Berdasarkan  kesepakatan  global  (Millenium  Development  Goals/MDGs,  2000)pada  tahun  2015  diharapkan  Angka  Kematian  Ibu  menurun  sebesar  tiga-perempatnya  dalam kurun waktu 1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun sebesar dua-pertiga  dalam  kurun  waktu  1990-2015.  Berdasarkan  hal  itu  Indonesia  mempunyai komitmen  untuk  menurunkan Angka  Kematian  Ibu  menjadi  102/100.000  KH, Angka  Kematian Bayi dari  68 menjadi 23/1.000  KH, dan  Angka  Kematian Balita 97  menjadi 32/1.000  KH pada tahun 2015.

Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah  persalinan  (SKRT  2001).  Penyebab  langsung  kematian  Ibu  adalah  perdarahan  (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tidak langsung kematian Ibu antara lain  Kurang Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada  ibu hamil ini  akan  meningkatkan  risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan  ibu yang tidak anemia. Sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%).

Menurut RISKESDAS 2007, penyebab kematian neonatal 0 – 6 hari adalah gangguan pernafasan  (37%), prematuritas  (34%),  sepsis  (12%),  hipotermi  (7%), kelainan darah/ikterus (6%), postmatur (3%) dan kelainan kongenital (1%). Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari adalah  sepsis  (20,5%),  kelainan  kongenital  (19%),  pneumonia  (17%),  Respiratori  Distress Syndrome/RDS  (14%),  prematuritas  (14%),  ikterus  (3%),  cedera  lahir  (3%),  tetanus  (3%), defisiensi  nutrisi  (3%)  dan  Suddenly  Infant  Death  Syndrome/SIDS  (3%).  Penyebab  kematian bayi  (29  hari  –  1  tahun)  adalah  diare  (42%),  pneumonia  (24%),  meningitis/ensefalitis  (9%), kelainan saluran cerna (7%),  kelainan  jantung kongenital dan  hidrosefalus  (6%), sepsis (4%), tetanus (3%) dan lain-lain (5%). Penyebab kematian balita (1 – 4 tahun) adalah diare (25,2%), pneumonia  (15,5%),  Necrotizing  Enterocolitis  E.Coli/NEC  (10,7%),  meningitis/ensefalitis (8,8%), DBD (6,8%), campak (5,8%), tenggelam (4,9%) dan lain-lain (9,7%).

Upaya  untuk  mempercepat  penurunan  AKI  telah  dimulai  sejak  akhir  tahun  1980-an melalui program Safe Motherhood Initiative  yang mendapat perhatian besar dan dukungan dari  berbagai  pihak  baik  dalam  maupun  luar  negeri.  Pada  akhir  tahun  1990-an  secara konseptual  telah  diperkenalkan  lagi  upaya  untuk  menajamkan  strategi  dan  intervensi  dalam menurunkan  AKI  melalui  Making  Pregnancy  Safer  (MPS)  yang  dicanangkan  oleh pemerintah pada  tahun  2000.  Sejak  tahun 1985  pemerintah  merancang  Child Survival (CS)untuk  penurunan  AKB.  Kedua  Strategi  tersebut  diatas  telah  sejalan  dengan  Grand  Strategi DEPKES tahun 2004.

Rencana Strategi  Making  Pregnancy  Safer  (MPS)  terdiri  dari 3  pesan  kunci  dan 4 strategi.Tiga pesan kunci MPS adalah :
1.    Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
2.    Setiap komplikasi obsetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
3.    Setiap  wanita  usia  subur  mempunyai  akses  terhadap  upaya  pencegahan  kehamilan  yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

Empat strategi MPS adalah :
1.    Peningkatan  kualitas  dan  akses  pelayanan  kesehatan  Ibu  dan  Bayi  dan  Balita  di  tingkat dasar dan rujukan.
2.     Membangun kemitraan yang efektif.
3.    Mendorong pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat.
4.    Meningkatkan Sistem Surveilans, Pembiayaan, Monitoring dan informasi KIA.

Rencana Strategi Child Survival (CS) terdiri dari 3 pesan kunci dan 4 strategi.Tiga pesan kunci CS adalah:
1.    Setiap bayi dan balita memperoleh pelayanan kesehatan dasar paripurna.
2.    Setiap bayi dan balita sakit ditangani secara adekuat.
3.    Setiap bayi dan balita tumbuh dan berkembang secara optimal.

Empat strategi CS adalah:
1.    Peningkatan  akses  dan  cakupan  pelayanan  kesehatan  ibu,  bayi  baru  lahir  dan  balita  yang berkualitas berdasarkan bukti ilmiah
2.    Membangun  kemitraan  yang  efektif  melalui  kerjasama  lintas  program,  lintas  sektor  dan mitra lainnya dalam melakukan advokasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta memantapkan koordinasi perencanaan kegiatan MPS dan child survival.
3.    Mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui kegiatan peningkatan pengetahuan untuk  menjamin  perilaku  yang  menunjang  kesehatan  ibu,  bayi  baru  lahir  dan  balita  serta pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia.
4.    Mendorong  keterlibatan  masyarakat  dalam  penyediaan  dan  pemanfaatan  pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita.

Sehubungan  dengan  penerapan  sistim  desentralisasi  dan  memperhatikan  PP  38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PP 41/2007 tentang Struktur Organisasi Pemerintah di Daerah,  maka  pelaksanaan  strategi  MPS  di  daerahpun  diharapkan  dapat  lebih  terarah  dan sesuai  dengan  permasalahan  setempat.  Dengan  adanya  variasi  antar  daerah  dalam  hal demografi  dan  geografi  maka  kegiatan  dalam  program  Kesehatan  Ibu  dan  Anak  (KIA)  perlu disesuaikan.

Agar  pelaksanaan  program  KIA  dapat  berjalan  lancar,  aspek  peningkatan  mutu pelayanan program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan prioritas ditingkat Kabupaten/Kota. Peningkatan  mutu  program  KIA  juga dinilai  dari besarnya  cakupan  program  di  masing-masing wilayah kerja. Untuk itu, besarnya cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja perlu dipantau secara  terus  menerus,  agar  diperoleh  gambaran  yang  jelas  mengenai  kelompok  mana  dalam wilayah kerja tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu dan anak,  maka  wilayah  kerja  tersebut  dapat  lebih  diperhatikan  dan  dicarikan  pemecahan masalahnya.  Untuk  memantau  cakupan  pelayanan  KIA  tersebut  dikembangkan  sistem Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA).

B. Pengertian
Pemantauan  Wilayah  Setempat  Kesehatan  Ibu  dan  Anak  (PWS  KIA)  adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana,  bayi  baru  lahir,  bayi  baru  lahir  dengan  komplikasi,  bayi, dan  balita.  Kegiatan  PWS KIA  terdiri  dari pengumpulan, pengolahan, analisis  dan interpretasi  data  serta  penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait dan tindak lanjut.

Definisi  dan  kegiatan  PWS  tersebut  sama  dengan  definisi  Surveilens.  Menurut  WHO, Surveilens  adalah  suatu  kegiatan  sistematis  berkesinambungan,  mulai  dari  kegiatan mengumpulkan,  menganalisis  dan  menginterpretasikan  data  yang  untuk  selanjutnya  dijadikan landasan  yang  esensial  dalam  membuat  rencana,  implementasi  dan  evaluasi  suatu  kebijakan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens dalam kesehatan ibu dan anak adalah dengan melaksanakan PWS KIA.

Dengan  PWS  KIA  diharapkan  cakupan  pelayanan  dapat  ditingkatkan  dengan menjangkau  seluruh  sasaran  di  suatu  wilayah  kerja.  Dengan  terjangkaunya  seluruh  sasaran maka  diharapkan  seluruh  kasus  dengan  faktor  risiko  atau  komplikasi  dapat  ditemukan  sedini mungkin agar dapat memperoleh penanganan yang memadai.

Penyajian PWS KIA juga dapat dipakai sebagai alat advokasi, informasi dan komunikasi kepada  sektor  terkait,  khususnya  lintas  sektor  setempat  yang  berperan  dalam pendataan dan penggerakan  sasaran.  Dengan  demikian  PWS  KIA  dapat  digunakan  untuk  memecahkan masalah  teknis  dan  non  teknis.  Pelaksanaan  PWS  KIA  harus  ditindaklanjuti  dengan  upaya perbaikan  dalam  pelaksanaan  pelayanan  KIA,  intensifikasi  manajemen  program,  penggerakan sasaran  dan  sumber  daya  yang  diperlukan  dalam  rangka  meningkatkan  jangkauan  dan  mutu pelayanan  KIA.  Hasil  analisis  PWS  KIA  di  tingkat  puskesmas  dan  kabupaten/kota  dapat digunakan untuk menentukan puskesmas dan desa/kelurahan yang rawan. Demikian pula hasil analisis PWS  KIA di  tingkat propinsi dapat digunakan untuk  menentukan  kabupaten/kota  yang rawan.


C. Tujuan
Tujuan umum :
Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus di setiap wilayah kerja.
Tujuan Khusus :
1.    Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
2.    Memantau  kemajuan  pelayanan  KIA  dan  cakupan  indikator  KIA  secara  teratur  (bulanan) dan terus menerus.
3.    Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA.
4.    Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang ditetapkan.
5.  Menentukan  sasaran  individu  dan  wilayah  prioritas  yang  akan  ditangani  secara  intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.
6.    Merencanakan  tindak  lanjut  dengan  menggunakan  sumber  daya  yang  tersedia  dan  yang potensial untuk digunakan.
7.    Meningkatkan  peran  lintas  sektor  setempat  dalam  penggerakan  sasaran  dan  mobilisasi sumber daya.
8.    Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KIA.

Rabu, 08 Juni 2016


MAKALAH UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN RAHASIA JABATAN DAN PROFESI TENAGA KESEHATAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Rahasia jabatan adalah rahasia seseorang dalam pekerjaan/jabatannya sebagai pejabat struktural. Dalam hal inilah profesionalitas seseorang dalam memangku suatu jabatan dapat dinilai. Misalnya rahasia jabatan dalam kedokteran adalah rahasia dokter sebagai pejabat stuktural, sedangkan rahasia pekerjaan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan praktiknya (fungsional). Kewajiban menyimpan rahasia jabatan adalah kewajiban moril yang sudah terjadi bahkan sejak zaman Hippokrates. Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan, Indonesia sudah mengukuhkan peraturan/undang-undang tentang rahasia jabatan. Rahasia jabatan kedokteran diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966, yang mana mengatakan bahwa dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter. Dokter berkewajiban menyimpan data-data seperti rekap medis seseorang yang sedang atau telah melakukan pengobatan. Oleh karena tanggung jawab menyimpan rahasia pasien ini adalah suatu tanggung jawab moril, perihal rahasia jabatan ini juga diucapkan pada sumpah jabatan seorang dokter, juga oleh KODEKI. Pada umumnya, saat menjalani pengobatan, seorang dokter akan bertanggung jawab kepada pasien. Sehingga dokter yang bertanggung jawab tersebut berkewajiban untuk memberikan informasi medis apabila diperlukan. Akan tetapi dalam kasus/keadaan tertentu, tugas memberikan informasi medis ini dapat juga disampaikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bertanggung jawab.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa saja undang-undang yang terkait dengan rahasia jabatan dan profesi tenaga kesehatan ?
2.      Undang-undang apa yang membahas tentang tenaga kesehatan yang wajib menyimpan rahasia pasien ?
3.      Siapa saja tenaga kesehatan yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rahasia jabatan dan profesi ?

1.3.Tujuan
1.      Untuk mengetahui undang-undang yang berkaitan dengan rahasia jabatan dan profesi tenaga kesehatan
2.      Untuk mengetahui undang-undang yang membahas tentang tenaga kesehatan yang wajib menyimpan rahasia pasien
3.      Untuk mengetahui tenaga kesehatan yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rahasia jabatan dan profesi



BAB II
PEMBAHASAN


A.   UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN RAHASIA JABATAN DAN PROFESI TENAGA KESEHATAN


          Ketentuan pasal 3 dari PP No 10 tahun 1966 tentang  wajib simpan rahasia kedokteran bahwa pihak-pihak yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksudkan dalam pasal 1 adalah:
a)        Tenaga kesehatan menurut pasal 2 peraturan pemerintah no 32 tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:
1.    Tenaga kesehatan terdiri dari :
a.    Tenaga medis ;
b.    Tenaga Keperawatan ;
c.    Tenaga Kefarmasian ;
d.   Tenaga Kesehatan Masyarakat ;
e.    Tenaga Gizi ;
f.     Tenaga Keterapian Fisik ;
g.    Tenaga Keteknisan Medik.
2.    Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
3.    Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
4.    Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
5.    Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluhan kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
6.    Tenaga gizi rneliputi nutrisionis dan dietisien.
7.    Tenaga keterapian fisik meiiputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara.
8.    Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

b)        Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

c)        Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan yang berbunyi: ”Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajihan untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Penjelasan :
Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain ialah :
a.         Hak Informasi,
b.        Hak untuk memberikan persetujuan.
c.         Hak atas rahasia kedokteran,
d.        Hak atas pendapat kedua ( second opinion ).
BAB II butir 8 Surat Edaran DIRJEN YANMED tentang pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit yang berbunyi : ” Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya”

d)       Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan menyebutkan :
Yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran adalah :
1.          Tenaga Kesehatan.
2.          Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan / atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pada penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa :
            Berdasarkan pasal ini orang  ( selain daripada tenaga            kesehatan ), yang dalam pekerjaannya berurusan dengan orang sakit atau mengetahui keadaan si sakit, baik yang tidak maupun yang belum mengucapkan sumpah jabatan, berkewajiban menjunjung tinggi rahasia mengenai keadaan si sakit.
Dengan demikian para mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, ahli farmasi, ahli laboratorium, ahli sinar, bidan, para pegawai murid paramedis dan sebagainya termasuk dalam golongan yang diwajibkan menyimpan rahasia. Menteri Kesehatan dapat menetapkan, baik secara umum maupun secara insidentil, orang – orang yang wajib menyimpan rahasia kedokteran, misalnya pegawai tata usaha pada rumah – rumah sakit dan laboratorium – laboratorium.


B.     TENAGA KESEHATAN YANG WAJIB MENYIMPAN RAHASIA PASIEN.
Pengertian tentang tenaga kesehatan, diatur dalam :
1.      Pasal 1 butir 3 Undang – undang Tentang Kesehatan, yang berbunyi : ’Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.
2.      Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yang definisinya sama dengan yang tersebut diatas.

C.     JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2 PP Nomor 32 Tahun 1966 menyebutkan :
1.     Tenaga kesehatan terdiri dari:
a.         Tenaga medis
b.        Tenaga Keperawatan
c.         Tenaga Kefarmasian
d.        Tenaga Kesehatan Masyarakat
e.         Tenaga Gizi
f.         Tenaga Keterapian Fisik
g.        Tenaga Keteknisan Medik
2.     Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi
3.     Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
4.     Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
5.     Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog       kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluhan kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
6.     Tenaga gizi rneliputi nutrisionis dan dietisien.
7.     Tenaga keterapian fisik meiiputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara.
8.     Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.



BAB III
PENUTUP

1.      KESIMPULAN
Undang-undang yang terkait dengan rahasia jabatan dan profesi yaitu ketentuan pasal 3 dari PP No 10 tahun 1966 tentang  wajib simpan rahasia kedokteran, Tenaga kesehatan menurut pasal 2 peraturan pemerintah no 32 tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan, Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan, Pasal 2 PP Nomor 32 Tahun 1966.
Berdasarkan pasal 3 PP 10 Tahun 1966 disebutkan bahwa yang wajib menyimpan rahasia kedokteran yaitu tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas di lapangan pemeriksaan pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh mentri kesehatan.
Tenaga kesehatan yang terkait dalam peraturan perundang-undangan rahasia jabatan dan profesi adalah tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisan medik.

2.      SARAN
Demikianlah makalah ini saya buat dengan sebaik-baiknya, namun sebagai manusia saya tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakan makalah ini diwaktu yang akan datang.





DAFTAR PUSTAKA


Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.